Cara
Menjadi Manusia Yang Berkarakter
Pribadi Yang
Berkarakter Tumbuh Pada Lingkungan Yang Berkarakter .
Membangun karakter (Character building) adalah proses mengukir, memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga ”berbentuk ” unik,menarik dan dapat dibedakan dengan orang lain. anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal.
Membangun karakter (Character building) adalah proses mengukir, memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga ”berbentuk ” unik,menarik dan dapat dibedakan dengan orang lain. anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal.
Pemberitaan di berbagai media massa,
begitu sering kita membaca, mendengar dan melihat di tayangan layar kaca
bagaimana manusia saling menyerang, menghujat dan “ memangsa “. Berbagai
tindak kriminal, tindak kekerasan dan pelecehan terjadi di
lingkungan keluarga maupun di lingkungan lain. Orang yang lebih muda sudah
tidak dapat menunjukkan rasa hormatnya pada yang lebih tua, sebaliknya yang
lebih tua juga telah kehilangan kasih sayang.Anak-anak muda lebih gandrung dan
bangga pada budaya asing daripada budaya sendiri, maka muncul pertanyaan
di benak kita : ”Apa yang terjadi
dengan bangsa kita?"
Pertanyaan yang
sama juga muncul ketika kita mengetahui berbagai tindak
Korupsi-Kolusi-Nepotisme di berbagai lini yang merugikan keuangan negara
dalam hitungan yang tidak terbayangka .Apa yang didengar, dilihat dan dialami
oleh kita tersebut mengacu kepada satu hal, yaitu karakter.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata ‘watak’ yang
diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai pengertian yang
pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral,
berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah
orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan
membentuk karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola
perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang
baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Pendidikan dapat membentuk
karakter, pada dasarnya mencakup pengembangan substansi, proses dan suasana
atau lingkungan yang mendorong seseorang untuk mengembangkan kebiasaan
baik dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang dengan
didasari oleh kesadaran, kepekaan dan sikap orang yang bersangkutan. Dengan
demikian, karakter bersifat inside-out, dalam
arti bahwa perilaku yang berkembang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena
adanya dorongan dari dalam, bukan karena adanya paksaan dari luar. Berdasarkan
informasi dan bahkan pengalaman atau cerita dari orang Indonesia
yang bepergian ke Singapura atau Jepang akan berperilaku tertib di jalan raya
atau di tempat-tempat umum,atau membuang sampah tidak sembarangan karena aturan
yang sangat tegas dan keras di sana. Namun, saat pulang kembali ke Indonesia,
mereka kembali pada kebiasaan lama saat di Indonesia,. Jadi, perilaku
tertib di Singapura atau Jepang bukanlah karakter orang-orang yang
bersangkutan. Dalam pendidikan karakter, mengetahui apa yang baik saja tidak
cukup. Yang sangat penting adalah menanamkan kebaikan tersebut di hati dan
mewujudkannya dalam tindakan, perbuatan dan/atau perilaku sebagaimana filofi
“Nggahi Rawi Pahu”
Karakter
merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi
oleh faktor bawaan dan lingkungan sosialisasi atau pendikan – nurture.
Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi
tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak
usia dini.
Keluarga tempat pendidikan Karakter yang Pertama dan Utama
Keluarga menjadi
kelompok pertama (primary group) tempat meletakkan dasar kepribadian. Dalam
keluarga terjadi proses “sosialisasi” yaitu proses pengintegrasian individu
kedalam kelompok sebagai anggota kelompok yang memberikan landasan sebagai
makhluk sosial. Di dalam keluarga itu telah terjadi proses pendidikan dalam
arti proses “ pendewasaan “ dari idividu yang tidak berdaya kepada calon
pribadi yang mengenal pengetahuan dasar, norma sosial, nilai-nilai dan etika
pergaulan. Oleh karena itu keluarga ini juga merupakan “lembaga pendidikan “
bagi individu yang membawanya ke dalam suasana yang makin mandiri.
Dalam
tulisan ini tinjauan mengenai konteks perkembangan anak difokuskan pada peran
keluarga, terutama orang tua, sebagai perantara antara antara anak dan
lingkungan budaya yang melingkupinya..Orangtua berperan dalam pengembangan
kualitas pribadi anak, melalui cara-caranya mengasuh dan mendidik anak.
Cara-cara orang tua mengasuh anak meliputi sejauh mana orangtua menjadikan
dirinya sebagai panutan anak, hubungan-hubungan kognitif dan afektif antara
orang tua dan anak, cara mengajar anak, serta cara mendisipinkan anak.
Posisi orang tua sebagai perantara antara anak dan budaya tersebut dipilih,
dengan pertimbangan bahwa anak terlahir didunia ini dapat diibaratkan sebagai
seorang wisatawan di negara yang belum dikenal.Walaupun mungkin saja anak
mengadakan penjelajahan diwilayah sendiri, namun adanya orangtua yang berperan
sebagai pemandu wisata bagi anak dalam menjelajahi kehidupan didunia,
akan memungkinkan penjelajahan anak yang terarah dan efisien.Adanya pemandu
berarti anak tidak dibiarkan mencoba-coba sendiri tanpa informasi pengantar,
sehingga anak dapat terhindar terperosok ke dalam jurang yang berbahaya. Posisi
orang tua sebagai pemandu anak tersebut berarti orang tua bertindak
sebagai ”penerjemah ” pengaruh budaya, memberikan rambu-rambu, yang memungkinkan
anak dapat membuat pilihan-pilihan serta keputusan sendiri dalam
menentukan jalan hidupnya..
Selain itu sebagai lingkungan yang paling akrab dengan kehidupan anak, kelarga
memiliki peran yang sangat penting dan srategis bagi penyadaran, penanaman, dan
pengembangan nilai. Nilai dapat berkembang dan terpelihara .Kadar
internalisassi nilai pada diri anak cenderung lebih melekat jika
dibandingkan misalnya dengan penanaman nilai di sekolah. Perekat utamanya tidak
lain adalah perasaan mengayomi pada orang tua dengan sifat diayomi pada sang
anak.
Peranan keluarga dalam meningkatkan kemampuan olah pikir anak tidak dapat
dipungkiri. Kemampuan dasar berpikir anak juga banyak terbentuk dalam keluarga.
Apalagi kalau orangtua memiliki perhatian yang cukup besar terhadap hal
tersebut. Disisi lain keharmonisan dalam keluarga sebagaimana dipercaya oleh
para environmentalism juga
mempunyai kontribusi terhadap bagaimana perilaku anak.Hal ini pernah dibuktikan
oleh Fagan ( 1995 ) bahwa anak-anak yang melakukankenakalan dan pelanggaran
hukum dan norma adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak
harmonis, orangtua tunggal atau orang tua yang menikah kembali (step parent family).
Dalam pandangan ahli social
learning apa yang dilakukan oleh ibu terhadap anaknya
merupakan proses yang di adopsi oleh si anak melalui proses social-modelling. Bagaimana cara ibu
mengasuh, apakah dengan penuh kelembutan dan kasih sayang atau apakah dengan
kasar dan amarah serta penolakan, akan membentuk perilaku anak. Seorang anak
mempunyai perilaku baik atau buruk didasarkan atas cara pengasuhan yang
diberikan ibunya. Anak-anak yang diasuh dengan cara diterima( acceptance) akan menjadi anak yang
tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan dengan anak yang diasuh dengan
cara ditolak (rejection).
Intinya adalah keluarga memiliki peran yang sangat penting dan strategis
bagi perkembangan anak.
Membangun karakter (Character building) adalah proses mengukir atau memahat
jiwa sedemikian rupa, sehingga ”berbentuk ” unik,menarik dan berbeda atau dapat
dibedakan dengan orang lain.Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tidak pernah
sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang
berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya ( termasuk dengan yang
belum berkarakter ).
Kegagalan
keluarga dalam melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, akan
mempersulit institusi-institusi lain di luar keluarga (termasuk sekolah) dalam
upaya memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan
berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu,
setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat
tergantung pada pendidikan karakter anak-anak mereka dalam keluarga.
Sebagai
Kesimpulan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang
pemben-tukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah - nature) dan lingkungan
(sosialisasi atau pendikan – nurture). Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi
yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter,
sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara
optimal. keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangannya. Keluarga melalui peran orangtua, berperan dalam perkembangan kualitas
pribadi anak melalui cara pengasuhan dan mendidik anak. Keluarga ( orang
tua ) dalam mendidik anak perlu memperhitungkan adanya perubahan kondisi
ling-kungan budaya. Penanaman nilai-nilai moral kepada anak-anak akan
menentukan kualitas kepribadian mereka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar